Kisah Nakal - Tahun baru ini Kurayakan lebih spesial dari tahun sebelumnya. Kunikmati Seks berkali-kali selama malam pergantian tahun ini.
Seks di Pergantian Tahun - Agak berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini lebih spesial karena suamiku ditunjuk sebagai ketua panitia, meski segalanya sudah dilaksanakan oleh panitia lainnya tapi sebagai orang yang paling bertanggung jawab tentunya tidak bisa tinggal diam, untuk itu kami putuskan check in di hotel tempat acara, supaya lebih mudah koordinasi. Sepanjang siang, sejak check in aku lebih sering sendirian di kamar ditinggal suamiku yang sIbuk dengan persiapan- persiapan pesta.
Menjelang petang suamiku baru kembali ke kamar, terlihat wajahnya menunjukkan kelelahan walaupun dia tidak kerja secara langsung, hanya mengawasi persiapan. KuhIbur dia dengan memijat bahu dan kakinya, dengan sedikit sentuhan erotis kurasakan ketegangannya mencair berganti dengan ketegangan yang lain. “Jangan Sayang, kita nggak ada waktu, sebentar lagi acara dimulai”, suamiku menolak halus. Agak kecewa juga aku menerima penolakan suamiku, padahal dia sudah hampir telanjang dan siap untuk melanjutkan permainan. Kupandangi punggunggnya hingga menghilang di kamar mandi, terpaksa kutelan saja kekecewaan ini. “Ntar aja, dia masih capek kali”, pikirku menghIbur diri.
Kami mandi bersama, di bawah guyuran air shower yang hangat aku masih berusaha memancing birahinya, tapi tak berhasil, sepertinya dia terlalu khawatir dengan persiapan yang ada, meski ini bukan pertama kalinya dia sebagai ketua panitia acara kantor seperti ini tapi entahlah kenapa kali ini begitu tegang. Jarum jam masih menunjukkan pukul 19:00, masih ada waktu untuk melakukan dengan cepat sebenarnya, karena acara baru akan dimulai pukul 20:00, berarti paling tidak masih ada waktu satu jam, akhirnya kuputuskan untuk “memaksa” suamiku melakukannya.
Kukenakan gaun malam merah panjang yang anggun nan sexy, belahan kaki hingga paha, punggung yang cukup terbuka sehingga tidak memungkinkan memakai bra, dada berpotongan rendah dengan seutas tali yang menggantung di leher menahan gaunku tetap menempel di tubuhku, selendang merah hati menutupi punggung dan sebagian tubuhku, tapi tak menghilangkan kesan sexy dan anggunnnya penampilanku. “Pa, masih ada waktu sebentar kan”, tanyaku dengan langsung berjongkok di depannya dan membuka resliting celananya. Sebelum dia sempat bersuara segera kukeluarkan penis kebanggaannya dan kumasukkan ke mulutku, tak kuhiraukan make up diwajahku berantakan karena kuluman dan usapan penis itu ke wajahku.
Desahan pelan mulai keluar dari mulut suamiku, berarti dia sudah mulai “naik”, tangannya meraih kepalaku dan mengocokkan penisnya di mulutku, rambutku yang sudah bersisir rapi kembali berantakan. Tak lama aku melakukan oral seks dia lalu mendudukkanku di meja, lalu berjongkok di selangkanganku, disingkapnya gaunku dengan mudahnya, tanpa melepas celana dalam merahku, dia menjilati vaginaku dari sela sela mini panty yang memang benar benar mini karena hanya berupa segitiga yang menutupi daerah depan kemaluanku. Lidahnya lincah menari nari di klitoris dan selangkanganku, vaginaku dilumat habis membuatku cepat melayang tinggi. Aku mendesis nikmat merasakan jilatan suamiku yang penuh gairah, dia berdiri dan menyapukan kepala penisnya ke bibir vaginaku, tak langsung memasukkan tapi mengusap usapkan ke daerah selangkangan dan vaginaku yang sudah basah siap menerima penetrasi darinya.
Sebelum penisnya memasuki liang vaginaku, kami dikagetkan dering HP dari suamiku, kutahan dia ketika akan menerima panggilan itu. “Jangan sayang, mungkin anak-anak memerlukanku“, bisik suamiku meminta pengertianku. “Malam Pak Sis…, oh sudah beres Pak… nggak masalah…udah kok, malahan kita tambah beberapa meja dan… oh sudah itu…, oke aku segera turun…, Malam Pak”, ternyata dari Pak Siswanto, atasan langsung suamiku. “Sorry Ma, Pak Sis sudah ada di bawah, dia mau lihat persiapan terakhir karena dia ada acara di tempat lain, jadi kesana dulu baru kemudian agak telat dia kembali ke sini, dia ingin make sure everything is OK”, jelasnya sambil merapikan kembali celana dan jas hitamnya. Dikecupnya pipiku lalu meninggalkanku kembali sendirian di kamar. “Aku jemput sebentar lagi, be ready immediately”, perintahnya sebelum menghilang di balik pintu kamar.
Aku masih duduk termangu di atas meja, kakiku masih mengangkang terbuka seperti saat suamiku mencumbuku tadi, dengan sedikit dongkol dan harus menelan kekecewaan akan birahi yang tak tertuntaskan akhirnya aku harus menghadapi kenyataan ini. Dengan masih memendam rasa kecewa aku kembali me-make up wajahku, seperti biasa aku tak perlu berlama lama memoles wajahku yang putih, hanya sapuan tipis sudah menambah kecantikan dan keanggunanku, kurapikan rambutku yang tadi sempat acak acak-an dan tak lebih dari setengah jam aku sudah siap untuk ke pesta, kulihat diriku di cermin, aku mengagumi kecantikan dan penampilanku malam ini, thank god you give me great body, dengan tinggiku yang 167 cm ditambah sepatu pesta berhak 7 cm, bak peragawati, tentu akan menarik perhatian banyak undangan.
Suamiku datang tak lama kemudian, dengan menggandeng tangannya, kami memasuki ballroom tempat pesta berlangsung, beberapa pasang mata mengalihkan perhatian ke arah kami, deretan meja dan kursi yang melingkar membentuk susunan ruangan menjadi nyaman, dekorasi yang meriah menambah indahnya suasana di ballroom itu. Belum banyak tamu yang datang kecuali para panitia dan beberapa orang dari pihak hotel yang melakukan setting atas segala sesuatunya, di atas panggung pemain band yang sedang melakukan persiapan terakhir, di depan panggung ada ruangan terbuka yang cukup luas untuk dance, sepertinya acara ini dipersiapkan secara megah, dengan dekorasi yang meriah untuk menyambut tahun baru.
Malam merangkak makin larut, satu persatu para tamu berdatangan, bersama beberapa pasangan panitia lainnya aku mendampingi suamiku menyambut kedatangan mereka, ngobrol sejenak lalu beralih ke tamu lainnya seperti layaknya tuan rumah dalam suatu perjamuan besar. Kudampingi suamiku memberikan sambutan di atas panggung, lalu disusul sambutan lainnya yang aku tak tahu satu persatu, masing masing memberikan kesan kesan selama bekerja bersama perusahaan ini, ada yang serius ada yang santai dan ada pula yang penuh humor, semua menyampaikan sambutan dengan gayanya masing masing.
Kutinggalkan suamiku yang masih asyik mengobrol dari satu kelompok ke kelompok lainnya, capek juga berdiri terus, apalagi dengan sepatu hak tinggi seperti ini, kucari kursi yang masih kosong di tempat agak belakang sambil menikmati slow musik yang mengalun secara dari panggung. “Malam Bu, kok sendirian, Bapak mana?”, aku dikagetkan sapaan sopan dari Pak Edy, asisten suamiku di kantor, dia baru 5 bulan bergabung dengan perusahaan ini, jadi belum banyak yang dia kenal, dia membawa dua minuman dan diberikannya sebuah padaku. “Eh Pak Edy, terimakasih, tuh Bapak lagi ngobrol di dekat jendela sana”, jawabku menunjuk sekelompok orang yang ngobrol sambil tertawa riang. Kami lalu mengobrol, tak kusangka ternyata di usia yang sudah 35 tahun dia masih membujang, belum ketemu yang cocok, katanya. “Wanita ideal saya adalah yang cantik itu pasti, lalu tinggi, putih, sexy dan anggun, ya kira kira seperti Ibu inilah”, katanya tanpa ada nada nakal di balik pernyataannya, entah memuji atau merayu atau memang berkata jujur, bagaimanapun telah membuatku bangga.
Diiringi dentuman musik indah, beberapa pasangan mulai dance, dia mengajakku dance, sesaat aku agak ragu menerimanya tapi ketika kulihat sepintas suamiku sudah melantai dengan seorang wanita entah siapa aku tak tahu jelas, rasanya tak sopan kalau aku menolaknya. Slow musik mengalun indah, lagu berganti lagu sudah berlalu, aku sudah berganti pasangan dengan orang lain yang sebagian tak kukenal, sudah menjadi kebiasaan tiap akhir tahun dalam pesta seperti ini, lima lagu berlalu, aku kembali ke meja Pak Edy, tiba tiba kurasakan ruangan seolah berputar, kepalaku pusing, pandanganku mulai kabur, secara refleks kuraih tangan Pak Edy sebagai pegangan. “Eh kenapa tiba tiba kepalaku pusing begini?”, tanyaku. “Mungkin kecapekan Bu, habis Ibu dance semangat banget”.
“Tolong panggilkan Bapak, biar aku istirahat dulu di kamar”, pintaku. Sepintas aku masih bisa melihat suamiku sedang berbincang di meja depan di kelompok para direksi. Pak Edy meninggalkanku sendirian, mataku terasa berat, ingin rasanya kurebahkan tubuhku segera, untunglah dia segera datang, kukira suamiku tapi ternyata Pak Edy. “Maaf Bu, Bapak sedang serius dengan para direksi itu, dia nggak bisa meninggalkannya, malah memintaku untuk mengantar Ibu ke kamar, sebentar lagi beliau menyusul”, katanya sambil menuntunku ke kamar. Antara ingat dan tidak, aku masih bisa merasakan dia merangkul dan menuntunku, sepertinya tanpa sadar aku berjalan menuju kamar, kudekap erat tangannya. Aku sudah tak bisa menahan mata dan kepalaku lebih lama lagi, kusandarkan kepalaku di tubuh Pak Edy, asisten suamiku, jalan terasa panjang dan lift berjalan begitu perlahan.
Kuberikan kunci kamar ke Pak Edy, dia membuka pintu dan menuntunku ke ranjang, aku masih ingat ketika dia meletakkan tas dan selendangku di meja, membuka cover bed yang masih tertutup lalu merebahkan tubuhku perlahan lahan di ranjang, dilepasnya sepatuku lalu memijat kepala dan kakiku, kurasakan nikmat pijatannya, aku begitu lemah dan begitu tak berdaya. “Ibu minum ini dulu, lalu istirahat, kebetulan aku tadi bawa Panadol dari rumah”, katanya sambil mengangsurkan pil dan segelas air putih. Tanpa banyak tanya lagi aku minum, lalu kupejamkan mataku yang semakin berat.
Tak kuperhatikan lagi Pak Edy yang masih di kamar menungguiku, tentu dia bisa menikmati pemandangan tubuhku dengan sepuasnya, akupun terlelap dalam kantuk yang hebat. Belum sepenuhnya aku tertidur ketika kurasakan tubuhku seperti digerayangi, naluri wanitaku bangkit, dengan berat kubuka mataku, samar samar kulihat wajah Pak Edy dekat wajahku, berulang kali dia menciumi pipiku, lalu melumat bibirku, entah sudah berapa lama dan berapa jauh dia menggerayangiku. Terbersit kesadaran di diriku, aku meronta berontak marah melihat kekurangajaran ini, tapi aku tidak punya tenaga untuk melawannya tanpa daya aku harus menerima cumbuannya, dalam keadaan normal saja sudah kalah tenaga apalagi kondisiku dalam keadaan kurang fit. Semakin aku meronta semakin kuat pula dia memegangi tanganku. “Pak jangan.., please hentikan, ingat Pak aku ini istri Pak Hendra, atasanmu”, aku menghiba tak berdaya di bawah kekuasaannya. “Sssttt.., diam.., aku tahu itu.., aku juga tahu apa yang kamu lakukan kalau suamimu keluar kota.., jadi jangan sok suci.., nikmati saja”, katanya perlahan dengan tekanan kata demi kata yang seolah menelanjangiku. Aku memang bukanlah istri yang setia, aku sering selingkuh di kala suamiku tak ada, tapi itu kulakukan dengan dasar suka sama suka dan bukan dengann pemaksaan seperti ini, ini pemerkosaan namanya. “Please Pak Edy, suamiku sebentar lagi datang mencariku”, meski masih lemah aku berusaha membujuknya. “Jangan khawatir, dia pikir kamu masih ada di ruangan pesta dan lagian dia tidak tahu kamu ada dimana karena memang ini bukan kamarmu, tapi kamarku, jadi nggak usah berpikir yang macam macam”, ada nada ancaman di suaranya. Bibir Pak Edy menyusuri leher jenjangku, dijilatinya telingaku, aku merasa jijik tapi apa dayaku karena memang tidak berdaya.
Mataku masih begitu berat dan tenagaku begitu lemah, aku benci akan ketidakberdayaan ini. Aku hanya diam mematung saja menerima penghinaan ini, mataku masih terasa berat untuk dibuka, tapi anehnya kurasakan tubuhku mulai panas menggelora, kubiarkan tangannya menjelajahi sekujur tubuhku dan meremas remas buah dadaku yang masih tertutup gaun merah sutera tanpa bra, aku hanya dapat menggigit bibir dengan mata tertutup menerima perlakuannya. “Masih kenyal dan padat seperti anak gadis saja”, komentarnya ketika merasakan buah dadaku. Bibir Pak Edy menyusuri bahu dan berhenti di dadaku, dengan mudahnya dia melepas tali di belakang leherku, kini dadaku terbuka lebar menantang. “Very beautiful breast”, katanya. Ia memandanginya sebentar, menciumi lalu mengulumnya, lidahnya dengan liar menari-nari di putingku. Rasa jijik yang sedari tadi menyelimutiku perlahan berubah menjadi kenikmatan, tubuhku terasa semakin panas menggelora, kuluman dan jilatan di putingku membuatku mulai ikut bergairah, mataku masih terasa berat untuk dibuka tapi gairah yang timbul tak dapat kubendung lagi, sehingga tanpa kusadari aku mulai mendesis nikmat dalam pelukan dan kuluman asisten suamiku.
Kombinasi remasan, jilatan dan kulumannya membuatku semakin suka tanpa kusadari. Entah kenapa, semakin liar dia menggerayangiku semakin nikmat pula rasanya, rasa marahku pun mulai berubah menjadi kenikmatan tersendiri, bahkan ketika tangannya mulai mengusap daerah vaginaku, tanpa bisa kutahan lagi aku ikut menggoyangkan pinggulku, menikmati usapan dan permainan jarinya di selangkanganku. Aku masih memejamkan mata meski mulutku mulai mendesis dan pinggulku mulai bergoyang, sungguh di luar kemauanku, bahkan ketika Pak Edy kembali melumat bibirku akupun membalas lumatannya, saling mengulum. Sungguh memalukan ketika tanganku mulai membelai dan meremas rambutnya, bahkan aku menjerit nikmat saat lidah Pak Edy menyentuh klitorisku dan kuangkat pantatku ketika dia melepas mini panty-ku, aku yakin dia menikmati “keindahan” vaginaku yang selalu kupelihara rambutnya dengan rapi membentuk sebaris garis tegak. Aku tak tahu kenapa begitu “horny”, apakah karena foreplay tadi sore yang tidak berkelanjutan ataukah ada sebab lain, tapi aku tak sempat berpikir lebih jauh lagi karena jilatan Pak Edy begitu nikmat di vaginaku.
Kuangkat pinggulku dan kubuka kakiku lebih lebar, permainan lidahnya makin liar dan makin nikmat apalagi ketika kurasakan jarinya ikut mengocok vaginaku hingga membuatku semakin membumbung tinggi. Jantungku berdetak semakin kencang saat kurasakan penis Pak Edy menyapu bibir vaginaku, seharusnya aku menjerit marah tapi tanpa bisa kutahan lagi justru kubuka kakiku lebar-lebar, entah mengapa, malahan aku ingin membuka mataku melihat ekspresi kemenangan darinya yang telah berhasil menikmati tubuhku, tapi tetap saja terasa berat, kelopak mataku seakan lengket, aku menahan napas saat kejantanannya menembus liang sempit vaginaku, kurasakan nikmat yang berbeda. Dia mulai mengocok vaginaku, pelan pelan kejantanannya keluar masuk, kugigit bibirku untuk menahan desah kenikmatanku, tapi tetap tidak berhasil, aku mendesah makin keras, mereguk kenikmatan yang diberikan Pak Edy. Tubuhnya ditelungkupkan di atasku, tanpa dapat kucegah lagi tanganku memeluknya, dan baru kusadari kalau ternyata dia masih berpakaian, ketika tanganku meraba pantatnya yang turun naik mengocokku, ternyata dia tidak melepas celananya, sungguh kurang ajar dia, pikirku.
Kocokannya makin cepat menghunjam vaginaku, di tengah asyiknya mengarungi lautan kenikmatan, tiba tiba kurasakan denyutan hebat dari penisnya dan cairan hangat membasahi liang vaginaku, dia menjerit nikmat dalam orgasme hingga secara refleks aku ikut menjerit karena terkejut. Agak kecewa juga mendapati dia begitu cepat mencapai orgasme, padahal aku menginginkannya lebih lama lagi, dengan kasar dia langsung mencabut kejantanannya dari vaginaku, sesaat kemudian kudengar bunyi resliting ditutup, dia turun dari ranjang dan tak lama kemudian kudengar dia keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku merasa terhina dengan perlakuannya itu, tapi apa mau dikata, tubuhku masih lemas meskipun gairahku masih menggelora. Aku berharap suamiku datang mengisi kekosonganku ini, tapi mana mungkin, dia tidak tahu aku dimana, kupaksakan kubuka mataku, tapi pandanganku masih samar dan kabur. Dengan masih tergolek tak berdaya, akhirnya kuputuskan untuk istirahat dulu sambil dengan tak sadar tanganku memainkan klitorisku hingga aku tertidur tanpa ada penyelesaian. Belum sempat aku tertidur pulas, kurasakan sesuatu kembali menindih tubuhku, kupaksakan untuk membuka mata, meski samar aku masih bisa mengenali wajah itu, yang jelas bukan Pak Edy apalagi suamiku, meski tubuhku masih tidak bertenaga tapi ingatanku masih bisa bekerja meski tidak sebaik biasanya, wajah itu tak asing lagi bagiku, dia adalah salah seorang rekan suamiku di kantor, aku tak tahu namanya tapi dia salah seorang manager di bagian keuangan. Tentu saja aku ingin berontak tapi tenagaku hilang sama sekali, apalagi dalam tindihan tubuh yang besar, sungguh aku tiada berdaya, bahkan berucap pun lidah terasa berat, hanya bibirku yang bergerak tanpa suara, kecuali hanya desisan.
Dengan liarnya dia menciumi pipi dan leherku, sesekali dilumatnya bibirku, anehnya bukannya perasaan muak tapi justru perasaan nikmat yang kurasakan, semakin dia meraba tubuhku semakin nikmat rasanya, aku seperti cacing kepanasan, tak ayal lagi akupun mulai mendesis tanpa bisa kukontrol lagi desisanku, bahkan kubalas lumatan di bibirku, aku tak tahu apa yang terjadi dengan diriku, sungguh memalukan. Nikmatnya makin tinggi rasanya ketika dia mengulum putingku, menjilatinya dengan liar, tanpa malu akupun mendesis dalam birahi, kuremas rambutnya. Dia berusaha melepas gaunku yang sudah tidak karuan menempel di tubuhku, bukannya marah tapi aku malah mempermudahnya. Kini tubuhku telah telanjang di hadapannya, hilang sudah keanggunan yang kupertontonkan di ruangan pesta tadi, aku tergolek tak berdaya di hadapannya, bahkan kakiku kubuka lebar sambil berharap dia segera melakukannya. Kurasakan usapan kepala penisnya di vaginaku, dengan sekali dorongan keras meluncurlah penis yang terbungkus kondom itu mengisi liang vaginaku, aku terhenyak kaget akan kekasarannya, tubuhku menggeliat nikmat, cairan sperma Pak Edy yang masih tertinggal di vaginaku memudahkan penisnya sliding dengan cepatnya, kasar dan liar kocokannya sambil tangannya meremas-remas kedua buah dadaku, pinggulku ikut bergoyang mengimbangi irama permainannya, desahan nikmat keluar dari mulutku tanpa bisa kutahan lagi. Mataku tetap terpejam selama dia menyetubuhiku, rasanya masih begitu berat untuk dibuka. Aku hanya bisa mendesah dalam kenikmatan, dia mengangkat kaki kananku dan ditumpangkan ke pundaknya, penisnya makin dalam mengisi liang vaginaku, desahanku semakin lepas tanpa bisa kutahan.
Cengkeraman di buah dadaku makin kuat dan tak lama kemudian kurasakan denyutan kuat dari spermanya diiringi teriakan orgasme, aku pasrah menikmatinya, padahal tanpa sadar aku masih menginginkan lebih dari itu. Tanpa sepatah katapun dia langsung mencabut keluar penisnya dan turun dari ranjang, kembali aku harus menerima perlakuan yang cukup menghinakan ini. Tapi semenit kemudian kurasakan dia naik ranjang lagi, diusapnya buah dadaku sambil meremas-remas gemas lalu dijilatinya kedua putingku sebelum akhirnya dia mengulumnya, aku kembali mendesis nikmat. Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia memasukkan penisnya tanpa kondom ke vaginaku, aku kaget karena penisnya begitu keras padahal dia baru saja orgasme, sungguh luar biasa, pikirku. Pelan pelan dia mulai mengocok, terasa nikmat, sepertinya penisnya lebih besar daripada sebelumnya, kali ini lebih nikmat apalagi dengan kocokan yang penuh perasaan, tidak kasar seperti tadi. Aku makin menikmati irama permainannya yang slow but sure, membawa birahiku dengan cepat terbang tinggi, desahan demi desahan keluar dari bibirku, kubalas kuluman bibirnya, terasa lembut dan menggairahkan. Dia memegangi kakiku dan membukanya lebar, dikulumnya jari jari kakiku, aku menggeliat geli dan nikmat, mendesah tanpa kendali, sungguh nikmat, kocokannya makin cepat meski dengan irama tetap. Tiba tiba dia mengocokku cepat sekali lalu dengan cepatnya menarik keluar, kurasakan cairan hangat menyirami perutku diiringi teriakannya, dia kembali mengeluarkan sperma di atasku. Seperti sebelumnya, dengan tanpa suara dia turun dari ranjang, dan kembali aku dibuat heran ketika dia kembali naik ke ranjang tak lama kemudian, what the hell is this? Ia mengusap seluruh tubuhku dengan selimut atau handuk, aku tak tahu, lalu langsung menindihku, melumat bibirku dengan rakus, sepertinya tubuhnya lebih berat daripada sebelumnya hingga sesak napas aku dibuatnya. Dengan masih belum juga melepas pakaiannya, padahal aku sudah bermandikan keringat. Lidahnya menyusuri leherku dan berhenti di kedua puncak bukit di dada, aku mendesis nikmat untuk kesekian kalinya, dengan tanpa malu aku mendesah dan menggeliat mengungkapkan ekspresi kenikmatan yang kudapat. “Biarlah, toh dia sudah menikmati tubuhku”, pikirku. Maka akupun semakin lepas merintih kenikmatan. Penisnya langsung melesak ke dalam vaginaku. Lebih kecil kali ini, hanya beberapa kali kocokan dia sudah menyemburkan spermanya di vaginaku, terasa hangat membanjir, didiamkannya beberapa saat tanpa gerakan hingga keluar dengan sendirinya.
Dia turun dari ranjang lalu naik lagi dan langsung memasukkan penisnya. Aku terkejut, begitu cepat penisnya membesar, kini terasa sesak di vaginaku, suatu perbedaan yang sangat cepat. Penasaran aku dibuatnya, kucoba untuk membuka mataku tapi kelopak mataku masih sangat berat seakan menutup rapat, penis besar itu sliding keluar masuk, ada rasa nyeri dan nikmat bercampur menjadi satu, kocokannya makin lama makin nikmat membawaku ke puncak kenikmatan. Tak dapat dihindari lagi akupun orgasme dalam pelukannya, tubuhku menegang seakan menumpahkan segala hasrat nan membara sedari tadi, tak lama diapun mengikutiku ke puncak kenikmatan. Denyutannya begitu hebat melanda dinding-dinding vaginaku, dicabutnya keluar untuk menumpahkan tampungan spermanya di kondom ke dada dan perutku, aku hanya bisa diam pasrah tanpa protes mendapat perlakuan seperti ini, dia turun dari ranjang dan kali ini tidak naik lagi. Napasku turun naik mendapatkan percumbuan yang baru terjadi, rasa kantuk hebat melandaku di kesendirian ini, entah apa yang dilakukannya di kamar ini, aku tak peduli, aku hanya ingin tidur sejenak sebelum bergabung kembali dengan suamiku.
Aku masih sempat melayani nafsunya beberapa kali lagi sebelum akhirnya dia benar benar membiarkanku sendiri terlelap dalam tidurku. “Nggak usah khawatir, obatnya bisa bertahan sampai pagi kalau tidak diberikan obat anti-nya”, sayup-sayup masih kudengar orang berkata entah pada siapa dan apa maksudnya, tapi aku keburu benar-benar terlelap. Aku terbangun ketika kurasakan percikan air di mukaku, kubuka mataku yang sudah tidak seberat tadi meski masih juga terasa berat. Pak Edy duduk di sampingku dengan senyumannya yang menawan seakan tak pernah terjadi apapun.
Dia menutupi tubuh telanjangku dengan handuk. “Minumlah ini biar segar”, dia memberiku secangkir teh hangat yang aromanya keras menusuk. Benar saja badanku terasa lebih segar setelah minum, rasa hangat menjalar ke sekujur tubuhku. “Sana bersihkan tubuhmu, lalu kita turun”, katanya sopan, meski tanpa sebutan Ibu lagi, sungguh berbeda dari sebelumnya. Kubersihkan tubuhku dari sisa-sisa sperma, kusiram dengan air hangat hingga badanku terasa fresh lagi. Dengan hanya berbalut handuk aku keluar kamar mandi. Tak kusangka ternyata Pak Edy sudah menungguku di ranjang dalam keadaan telanjang, aku berdiri bengong mematung melihatnya. “Tapi…”, aku berusaha mengelak karena vaginaku masih terasa panas. Entah berapa kali aku tadi disetubuhinya. “Aku ingin melakukannya dengan suasana yang lain, lagian kita masih punya waktu setengah jam lebih sebelum tengah malam”, katanya sambil menepuk nepuk bantal di sebelahnya. Akhirnya “terpaksa” aku menuruti keinginan asisten suamiku itu untuk melampiaskan nafsu birahinya pada istri atasannya. Kami bercinta dengan penuh nafsu seperti sepasang kekasih yang dimabuk birahi, tak kusangka dia seorang pemain cinta yang hebat. Kami bercinta dengan berbagai posisi, hampir kewalahan aku melayaninya, nafsunya sungguh besar dan pintar mengatur ritme permainan, dia begitu mengerti liku-liku daerah erotis wanita, aku benar-benar merasa puas dibuatnya. Kami orgasme bersamaan, dia membanjiri vaginaku tepat ketika kembang api meletus di udara menandai pergantian tahun. “Happy New Year”, ucapnya sambil mengecup kening dan bibirku. Kami masih telanjang dan saling berpelukan, kubalas dengan mesra kecupan di bibirnya. “Ayo, kita harus segera bergabung dengan mereka sebelum suamiku sadar akan ketidak hadiranku”, kataku mendorongnya turun dari tubuhku. Segera kukenakan kembali gaun merahku, tak kutemukan mini panty yang tadi kukenakan, akhirnya kuputuskan untuk segera berlalu tanpa panty ke pesta. Kurapikan pakaian, make up dan rambutku untuk bersiap turun.
Tiba tiba Pak Edy memelukku dari belakang. “Let’s do it again quickly”, bisiknya. Aku ingin menolaknya tapi aku juga ingin menikmatinya sekali lagi. Dia mendudukkanku di meja, disingkapkannya gaunku hingga ke perut, vaginaku terbuka menantang, dengan hanya membuka resliting celananya dia melesakkan kembali penisnya ke vaginaku, mengocok dengan cepatnya sambil meremas buah dadaku, aku mendesis seperti yang kulakukan sebelumnya, dan kamipun kembali orgasme bersama. Dia menciumku mesra. Kembali kurapikan penampilanku sebelum kami keluar kamar sendiri-sendiri, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Entah sudah berapa lama aku berada di kamar itu. Suasana ballroom sudah sangat berbeda dari waktu kutinggal tadi. Susunan kursi sudah berubah semua, hal itu biasa terjadi saat pesta berlangsung. Kucari-cari suamiku tapi tidak kutemukan. Beberapa pasang mata melihatku dengan pandangan yang menelanjangiku, tapi aku tetap percaya diri dengan penampilanku, meski tanpa underwear. Akhirnya kutemukan suamiku di pojok ruangan, mengenakan topi kerucut tahun baru dan memegang terompet, dia terlihat begitu bahagia. “Selamat Tahun Baru, Sayang”, ucapnya sambil mengecup bibirku yang kubalas dengan kecupan mesra. Sepertinya dia masih tidak sadar kalau aku sempat menghilang. Kulihat Pak Edy menghampiri kami dan mengucapkan hal yang sama, seakan tak pernah terjadi apapun di antara kami. Akhirnya the party is over, para panitia berbaris di depan pintu menerima ucapan selamat dari para undangan, sekalian berpamitan pulang.
Kulihat wajah-wajah yang kukenal, tapi lebih banyak tidak kukenal, di antaranya adalah orang yang tadi menyetubuhiku “berulang-ulang”. “You have wonderful wife”, katanya pada suamiku. “Thanks Pak Kris”, jawab suamiku sambil memelukku tanpa tahu apa maksudnya. “Selamat Tahun Baru Pak Hendra, Anda beruntung punya istri seperti dia”, ucap orang lain lagi yang tidak kukenal. ”Sama sama, terima kasih Pak Dwi“, jawab suamiku bangga. “Happy New Year, istri anda sungguh luar biasa, thank telah memberiku kesempatan” orang asing lagi yang memujiku, padahal aku merasa pernah bertemu dengannya. “Sama-sama, anda bisa saja”, balas suamiku. “Rupanya kamu punya banyak penggemar”, bisik suamiku sambil menyalami tamu lainnya yang berpamitan pulang. “Habis Papa ninggalin aku, jadi kuterima saja ajakan dance setiap orang, Papa nggak marah kan”, jawabku berbohong sambil mencubit lengannya. “Nggak apa, asal kamu menikmatinya”, jawab suamiku polos. Akhirnya kami kembali ke kamar pukul 1:30 dini hari, dengan menyesal aku menolak keinginan suamiku untuk melanjutkan foreplay tadi sore karena vaginaku masih terasa memar dan nyeri, dan kamipun tertidur dengan kenangan melepas tahun pergantian tahun yang berbeda. Belakangan aku diberi tahu Pak Edy kalau yang menyetubuhiku “berulang-ulang” itu sebenarnya bukanlah satu orang, tapi beberapa orang, paling tidak 3 orang rekan seclub golf, yang lain dia tidak mengenalnya. Dia tidak mau menyebutkan jumlah pastinya, apalagi nama-nama orangnya. Ini membuatku penasaran sampai sekarang. Sungguh kelewatan kalau aku tidak tahu orang yang telah menikmati tubuhku. Jangankan namanya, wajahnya saja aku tidak tahu kecuali Pak Edy dan yang disebut suamiku Pak Kris tadi.
Dia tidak pernah membenarkan atau membantah kecurigaanku bahwa obat yang dia sebut Panadol itu sebenarnya adalah obat perangsang.
0 comments:
Post a Comment